Pertanyaan di atas selalu muncul dalam benak penulis setiap kali terjadi proses penerimaan murid baru, terutama di sekolah-sekolah negeri, baik ketika masih memakai DANEM (Daftar Nilai Ebtanas Murni) maupun setelah kembali memakai model tes. Pasalnya, dua model penerimaan murid baru itu hanya mengakomodasi tiga kelompok saja, yaitu kelompok anak kaya dan pintar, anak pintar tapi miskin, dan anak bodoh tapi kaya. Kelompok keempat, anak yang miskin sekaligus bodoh, tidak pernah diakomodasi ke dalam kedua sistem yang ada, sehingga mereka semakin termarjinalisasi. Bukan hanya dalam memperoleh akses pendidikan, tapi juga dalam proses sosialisasi dan mobilitas vertikal.
Peluang terbesar untuk memperoleh akses
pendidikan yang baik
dimiliki oleh anak kaya dan pintar, karena memiliki nilai yang bagus sehingga bebas memilih sekolah yang
diinginkan. Bahkan
ketika sistem penerimaan murid baru dengan menggunakan
model tes seperti sekarang, yang memungkinkan ada negosiasi soal biaya yang
harus dibayar, mereka tetap memiliki peluang terbesar karena selain memiliki
kemampuan untuk mengerjakan
soal, juga memiliki kemampuan untuk membayar pungutan
yang ditarik oleh pihak sekolah.
Peluang terbesar kedua dimiliki oleh anak-anak
miskin tapi pintar. Pada
waktu penerimaan berdasarkan DANEM, mereka dengan mudah dapat masuk ke sekolah-sekolah negeri karena NEM mereka cukup tinggi. Di sekolah-sekolah swasta
favorit, peluangnya terbatas karena
sekolah tersebut menggunakan sistem
seleksi ganda, yaitu DANEM dan tes wawancara. Mereka sering gugur pada waktu tes wawancara, karena tes
wawancara itu hanya merupakan bentuk
kamuflase dari mekanisme menarik biaya
yang lebih besar.
Perubahan sistem penerimaan murid baru dari DANEM ke model tes seperti sekarang, sedikit menutup
peluang kelompok kedua ini
di sekolah-sekolah negeri, terlebih sekolah swasta favorit, karena kemampuan membayar uang gedung
murid sering lebih menentukan diterima tidaknya
seseorang sebagai murid baru daripada hasil tes murni yang dicapai oleh calon murid.
Peluang terluas ketiga untuk memperoleh akses pendidikan yang baik
dimiliki oleh anak-anak yang bodoh, tapi orang tuanya kaya. Pada sistem penerimaan murid baru dengan
model DANEM, peluang mereka untuk masuk ke
sekolah-sekolah negeri memang terbatas karena sekolah-sekolah negeri pada umumnya hanya menggunakan sistem DANEM saja. Tapi
untuk masuk ke sekolah-sekolah swasta, termasuk
yang favorit, cukup tinggi karena tertolong
oleh tes wawancara, yang di sana ada proses tawar menawar soal kesanggupan biaya yang harus dibayarkan.
Permainan itu juga dapat
dilakukan dengan pihak sekolah asal atau sekolah sebelumnya sehingga DANEM si anak
menjadi tinggi. Sebagai contoh, orang
tua murid kongkalikong dengan
guru Kelas VI SD atau Kelas III SMP
agar anakny a memperoleh DANEM tinggi, sehingga dapat masuk ke sekolah negeri favorit.
Permainan semacam itu terjadi di
banyak tempat di seluruh Indonesia. Motivasinya juga bukan sekadar uang, tapi
juga prestise. Sebab, bila
alumni dari sekolah itu banyak yang diterima di .sekolahsekolah
negeri, hal itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi para guru sehingga mereka senang mengatrol NEM murid, terlebih dibayar. Dengan kembali menggunakan model tes,
posisi kelompok ini makin aman
karena sistem tes itu memungkinkan terjadinya
proses tawar menawar soal kemampuan membayarnya, sehingga ketidakmampuan mengerjakan soal-soal tes dapat ditutup dengan kemampuan membayarnya.
1. Sekolah Pinggiran
Peluang yang paling sempit, atau bahkan dapat dikatakan tertutup, adalah
bagi anak-anak miskin sekaligus bodoh. Satusatunya peluang yang terbuka bagi mereka adalah
di sekolahsekolah swasta
tidak bermutu yang secara fisik lokasinya berada di pinggiran kota atau daerah terpencil. Kalau
di tengah perkotaan, sekolah
itu berada di tengah daerah pemukiman yang padat, kumuh, dan semrawut sehingga tidak
kondusif untuk proses belajar mengajar.
Hal itu disebabkan mereka tidak memiliki
modal apa pun yang diperlukan sebagai syarat untuk masuk ke sekolah, baik ketika memakai sistem DANEM
maupun model tes. Bahkan ketika sistem Ujian Akhir Nasional itu
diterapkan, kelompok inilah yang paling
banyak menjadi korban ketidaklulusannya.
Ketika sistem DANEM masih digunakan, karena NEM mereka amat rendah, mereka tidak bisa masuk
ke sekolah negeri yang hanya menggunakan sistem seleksi tunggal. Sedangkan kalau mau masuk ke sekolah-sekolah swasta favorit,
selain NEM mereka jelek,
mereka juga tidak memiliki kemampuan membayar yang tinggi. Jadi satu-satunya pilihan yang tersedia bagi mereka
adalah sekolah-sekolah pinggiran yang model rekrutmen muridnya memang hanya
mengandalkan sisa-sisa (Jawa: koretan) calon
murid, baik yang tidak diterima di sekolah
negeri, swasta favorit, maupun swasta
menengah.
Nasib buruk
yang sama dirasakan pula ketika mekanisme rekrutmen
murid baru di sekolah-sekolah negeri maupun swasta menggunakan model tes
dan wawancara. Kelompok ini, karena modal dasarnya memang sangat lemah, tidak
memiliki kemampuan untuk mengerjakan soal dengan baik, juga tidak memiliki daya tawar berdasarkan
kemampuan membayar biaya sekolah
yang tinggi, sehingga tidak tersedia ruang bagi mereka, baik di sekolah-sekolah negeri maupun swasta yang bagus. Dalam kondisi yang serba terpaksa itu, tak ada
pilihan lain bap mereka kecuali hanya
di sekolah-sekolah swasta kecil, yang lokasinya
di pinggiran kota atau pelosok pedesaan, yang prasarana dan sarananya minim, mutunya jelek,
disiplinnya rendah, dan biayanya
relatif tinggi menurut ukuran mereka kareno ditanggung penuh oleh murid.
Pemerintah justru cenderung menghindari
memberikan bantuan kepada sekolah-sekolah semacam itu. Kalaupun ada, jumlahnya kecil dibanding sekolah-sekolah
yang lebih besar atau mapan. Pemerintah lebih suka membantu sekolah-sekolah yang sudah mapan daripada membantu
sekolah-sekolah yang miskin dan di pinggiran tersebut, karena dapat diklaim sebagai hasil kinerja mereka.
Sebetulnya, mereka menjadi miskin dan bodoh bukan semata-mata kesalahan mereka sendiri, tapi
karena struktur sosial yang sejak awal tidak adil, sehingga tidak memberikan ruang kepada kelompok miskin ini untuk
melakukan mobilitas horizontal maupun vertikal. Kelompok miskin dan bodoh itu akhirnya terjebak pada lingkaran
kemiskinannya. Celakanya,
pendidikan yang seharusnya membuat manusia lebih berkemanusiaan dan berkeadilan, justru semakin melegitimasi dan bahkan menyuburkan ketidakadilan tersebut, terutama melalui
pilihan-pilihan mencari pasangan hidup. Sebagai contoh, -seseorang yang berpendidikan S2 cenderung mencari pasangan hidup yang berpendidikan setara, atau paling tidak
S1. Seseorang yang berijasah S1
cenderung mencari pasangan hidup minimal
Diploma, syukur bisa di atasnya. Lulusan SMA mencari pasangan hidup sesama lulusan SMA atau minimal SMP.
Sedangkan bagi lulusan SMP ke bawah
(termasuk yang tidak bersekolah),
tidak tersedia pilihan lain kecuali sesama yang berpendidikan SMP atau
SD atau bahkan buta huruf.
Bila tinggi rendahnya pendidikan itu memiliki korelasi positif dengan jenis pekerjaan, gaji, dan fasilitas lain yang diperoleh, maka dengan sendirinya pasangan sesama S2-S3 akan berpenghasilan sangat tinggi (ada yang mencapai ratusan juta rupiah per bulan). Pasangan antar sesama S1 juga memiliki jenis pekerjaan yang relatif baik, dengan tingkat gaji dan fasilitas lain yang bagus. Begitu seterusnya: semakin rendah tingkat pendidikannya, semakin rendah pula gaji yang diterima serta fasilitas yang tersedia. Giliran pada pasangan yang buta huruf, jangankan pendapatan dan fasilitas, pekerjaan pun belum tentu mereka dapatkan, sehingga mereka kernudian menjadi pengemis, pengamen, pemulung, atau bahkan gelandangan.
Tapi, ini yang terjadi, baik pasangan sesama S2-S3 maupun sesama buta huruf sama-sama ingin memiliki
keturunan. Samasama melalui proses biologis dan sama-sama dilahirkan oleh manusia, tapi sudah pasti produknya akan
sangat jauh berbeda. Anak-anak dari golongan yang berpendidikan, jauh sebelum di- proses, sudah dipersiapkan secara matang,
dari soal pilihan jenis makanan yang bergizi, bahan bacaan yang perlu dikonsumsi, musik yang perlu didengar, dan sebagainya yang
semuanya bertujuan agar
anak yang dikandungnya nanti lahir menjadi anak yang cerdas dan berbudi luhur. Sedangkan
anak-anak dari pasangan yang tidak berpendidikan tersebut, sudah lahir pun tidak dipelihara dengan baik. Jangankan tumbuh
menjadi anak pintar, bisa hidup sehat pun itu
sudah rahmat yang tidak terhingga. Dengan kata lain, pernikahan dari pasangan
yang termarjinalisasi itu sebetulnya hanya
merupakan proses reproduksi kemiskinan
dan kebodohan. Dan celakanya, pendidikan yang ada semakin menyuburkan proses reproduksi kemiskinan dan kebodohan
tersebut.
2. Pendidikan: Sumber Masalah
Bagi anak-anak miskin dan bodoh itu, sekolah bukan
sarana mobilitas horizontal maupun
vertikal yang baik, tapi akumulasi kekecewaan sekaligus arena membangun kesadaran kolektif atas ketidakadilan sosial di masyarakat. Sebab, di sekolah mereka berinteraksi dengana sesama pelajar yang memiliki nasib sama buruknya.
Anak-anak yang memiliki nasib lebih baik sudah dikumpulkan tersendiri di
sekolah-sekolah swasta dengan status "Diakui". Sedangkan anak-anak yang
memiliki nasib terbaik dikumpulkan tersendiri di sekolah-sekolah
negeri favorit maupun sekolah-sekolah swasta dengan status
"Disamakan".
Berbeda, misalnya, jika anak-anak miskin dan
bodoh itu dapat bersekolah di sekolah-sekolah negeri yang biayanya
ditanggung oleh negara. Selain dari segi biaya mereka juga
lebih ringan, dari pola pergaulannya pun menjadi beragam:
mereka tidak hanya berinteraksi dengan sesama anak miskin dan
bodoh, tapi juga dengan anak yang mungkin kaya sekaligus pintar,
anak yang pintar tapi mungkin miskin, atau juga anak yang
bodoh tapi
kaya.
Adanya interaksi yang intens antara anak-anak miskin bodoh dengan
sesama anak-anak dari ketiga lapisan sosial tersebut dapat membuka wawasan
mereka lebih berkembang,
relasi sosial lebih luas, dan sangat mungkin pula kelak mereka dapat membangun kerja sama yang saling menguntungkan.Sehingga, yang miskin dan bodoh dapat mengalami mobilisasi vertikal, sedangkan yang kaya dan pinter bisa lebih peka dan toleran terhadap yang miskin dan bodoh.
relasi sosial lebih luas, dan sangat mungkin pula kelak mereka dapat membangun kerja sama yang saling menguntungkan.Sehingga, yang miskin dan bodoh dapat mengalami mobilisasi vertikal, sedangkan yang kaya dan pinter bisa lebih peka dan toleran terhadap yang miskin dan bodoh.
Tapi dengan mengkotakkan anak-anak miskin dan bodoh ke dalam satu kotak tersendiri, yaitu masuk ke sekolah-sekolah pinggiran yang tidak bermutu, disiplin rendah, dan biayanya realtif
tinggi (karena mereka tanggung sendiri), maka sistt'iu pendidikan yang ada sebetulnya hanya semakin melanggengkan, ketidakadilan sosial yang ada di masyarakat sekaligus merusa solidaritas sosial, karena anak-anak muda sudah dikelompokkan sesuai dengan kelas sosialnya, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk membangun relasi sosial yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Sekolah justru mengelompokkan anak pintar dan kaya dalam satu kelompok, anak
yang bodoh dan miskin dalam satu kelompok tersendiri. Ini
jelas tidak sehat, baik bagi perkembangan jiwa anak maupun untuk
kepentingan solidaritas sosial. Sebab, rasa cemburu dari golongan
miskin dan bodoh terhadap yang kaya dan atau pintar itu tidak
dieliminasi, tapi justru dipupuk dan dikembangkan secara sistematik.
Sistem pendidikan seperti itu cenderung akan
menumbuhkan kekecewaan mendalam pada golongan miskin dan bodoh. Ekspresi kekecewaan bagi golongan miskin dan bodoh terhadap ketidakadilan sosial yang ada di masyarakat itu, mereka wujudkan dalam bentuk tawuran antarpelajar. Bila ditelisik lebih jauh, dapat diketahui bahwa pelajar yang terlibat dalam tawuran sesama pelajar itu mayoritas berasal dari sekolahsekolah swasta kecil atau di pinggiran kota, yang asal usul muridnya dari golongan miskin dan bodoh. Menurut penuturan beberapa guru
dari murid yang terlibat tawuran, pada saat masuk ke sekolah (umumnya sekolah kejuruan), NEM si anak itu amat rendah, sehingga mereka memang tidak dapat diterima di sekolah negeri. Juga tidak bisa diterima di SMA swasta bermutu. Satu-satunya sekolah yang dapat menampung mereka adalah sekolah kejuruan swasta.
Dilihat dari latar belakangnya, pelajar yang sering terlibat tawuran umumnya tinggal di perkampungan padat (sebagian di rumah petak dari papan) yang sumpek, berisik, semrawut. Di sekolah, mereka berinteraksi secara intens dengan anak-anak lain
yang sama-sama mengalami kekecewaan dalam segala hal. Sekolah yang semula diharapkan dapat menjadi ruang publik bagi mereka untuk mengekspresikan kemampuannya, ternyata cenderung represif akibat dari keterbatasan prasarana dan sarana yang bersangkutan. Di jalanan, mereka harus berjuang susah payah untuk memperoleh angkutan
umum yang mau mengangkut mereka dengan ongkos tarif pelajar. Sebab, tarif
khusus bagi pelajar ternyata tidak
menolong mereka; sebaliknya justru menciptakan beban baru bagi mereka.
Akumulasi kekecewaan demi kekecewaan itu kemudian memupuk naluri agresivitas mereka, yang
kemudian dengan mudah dapat dipancing untuk tawuran. Begitu terkena gesekan sedikit, mereka langsung tawuran. Dan gesekan yang memicu timbulnya tawuran itu, biayanya terjadi saat para
pelajar menunggu bus kota di halte
yang begitu lama. Dalam suasana otak yang bunek dan jiwa yang frustasi
mênunggu angkutan umum yang mau mengangkut, mereka mudah sekali
dipancing untuk tawuran. Dengan kata lain,
tawuran pelajar itu tidak memiliki kaitan logis dengan tingkat pemahaman agama mereka, melainkan dengan
masalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang mereka rasakan, baik di rumah maupun di sekolah.
Kondisi serupa
terjadi pada PTN kita. PTN hanya mengakomodasi
anak-anak pintar sekaligus kaya serta anak bodoh tapi kaya. Anak-anak
pintar tapi miskin, peluangnya sqkarang semakin
terbatas. Apalagi anak-anak bodoh dan miskin, tidak ada ruang sama sekali di pendidikan tinggi di
Indonesia, apalagi PTN. Perubahan
status PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) semakin menutup
peluang anak-anak miskin dan bodoh untuk
memperoleh akses pendidikan tinggi karena mereka dianggap tidak pantas
masuk PT. Padahal, bagaimana mungkin yang
miskin dan bodoh ini dapat mengubah nasibnya sehingga keturunannya bisa kaya dan pintar, bila negara
tidak pernah menyediakan kesempatan sedikit pun kepada mereka?
Uraian di atas jelas, bahwa pendidikan nasional, negeri maupun swasta, dari SD-PT, hanya menciptakan kesenjangan sosial sekaligus
kemiskinan struktural. Sebab, anak-anak bodoh dan miskin itu setelah lepas dari sekolah hanya bekerja sebagai buruh pabrik, buruh bangunan, buruh tani, buruh
serabutan, atau pekerja sektor
informal, yang pendapatannya selain kecil, juga tidak stabil dan rawan PHK atau
kena gusur. Mereka pun menikah dengan pasangan yang berasal dari kelas sosial sama
rendah, sehingga hanya mereproduksi
kemiskinan dan kebodohan saja. Sedangkan anak-anak ketiga golongan tadi bekerja di sektorsektor white color dengan
gaji tinggi dan fasilitas lengkap, sehingga anak-anak mereka kelak tumbuh
dalam suasana yang kondusif untuk pintar, maju, dan kaya, melebihi orang
tuanya.
Kebijakan pendidikan nasional yang tidak adil itu jelas perlu diubah
agar lebih adil dan manusiawi. Negara tidak boleh hanya memfasilitasi kelompok-kelompok mampu saja,
tapi semua kelompok kelompok masyarakat wajib
difasilitasi: Konsekuensi dari sikap politis
yang semacam itu adalah, semua kebijakan yang tidak mendukung terciptanya sistem yang adil itu harus digugat dan diubah agar menjadi lebih berkeadilan.
Negara wajib menerapkan kebijakan affirmative
action guna menampung anak-anak
yang miskin dan bodoh tersebut. Caranya, negara memberikan alokasi ruang yang cukup bagi kaum miskin dan bodoh untuk bisa bersekolah di sekolah-sekolah
negeri. Jangan sampai
sekolah-sekolah negeri yang dibiayai oleh negara justru dihuni hanya
oleh anak-anak orang kaya saja. Sebaliknya, yang miskin justru harus bersekolah di sekolah-sekolah swasta kecil yang biayanya mereka pikul sendiri.
Bila sistem penerimaan murid baru yang ada selama ini tidak memungkinkan anak-anak miskin dan bodoh bersekolah di
sekolah-sekolah negeri, maka secara otomatis sistem penerimaan murid baru itu wajib diubah. Bukan hanya
menggunakan sistem tunggal dalam bentuk tes ujian masuk, tapi juga mendasarkan
pada kemampuan sosial ekonomi talon murid. Bila kita mengacu pada tugas negara untuk mencerdaskan
bangsa, maka hukumnya wajib bagi pemerintah untuk menerima semua anak yang bodoh dan miskin itu bersekolah di sekolah
negeri. Sebab, kalau institusi negara
dan juga pegawai negara saja tidak mau memandaikan
mereka, lalu siapa yang wajib memandaikan mereka? Sangat tidak adil bila beban untuk mencerdaskan mereka yang miskin dan bodoh itu justru ditumpukan
kepada para penyelenggara pendidikan swasta yang miskin dan
tikla mendapatkan bantuan dari negara.
Negara juga wajib mendorong masyarakat agar mereka yang secara ekonomis mampu lebih baik memilih
sekolah d swasta,
sehingga semakin banyak ruang yang tersedia di sekolah-sekolah negeri bagi golongan miskin
dan bodoh. Bahkan kalau kita mau berpikir ideal, sekolah-sekolah negeri itu memang untuk publik (publik tidak dibatasi oleh
stratifikasi sosial), sedangkan mereka yang ingin berkompetisi secara ketat dipersilakan bersekolah di sekolah-sekolah
swasta yang bagus. Bagi penulis, jauh lebih baik bila sekolah-sekolah swasta
kecil tidak bermutu itu ditutup, dan anak-anak
miskin-bodoh ditampung di
sekolah-sekolah negeri semua, sedangkan swasta yang boleh hidup hanya
sekolah-sekolah swasta yang berrnutu saja. Daripada
membiarkan anak-anak yang miskin dan bodoh tetap
bersekolah di sekolah-sekolah swasta yang tidak bermutu, disiplin
rendah, dan biayanya relatif tinggi. Ini sangat tidak adil
Ironis juga, bila negara yang diberi mandat untuk mencerdaskan warganya justru lebih memfasilitasi
orang-orang yang sudah pintar dan kaya. Juga guru-guru yang dibayar oleh negara justru mendidik anak-anak yang sudah
pintar, sedangkan guru-guru swasta kecil yang bayarannya dengan ucapan “terima kasih" malah diberi tugas untuk memintarkan orang-orang miskin dan
bodoh.
Affirmative action itu tidak hanya untuk tingkat SMP-SMA saja, tapi juga pendidikan tinggi negeri.
Sebab, tanpa kebijakan affirmative action, sulit dibayangkan anak-anak yang miskin dan bodoh itu akan mengenyam pendidikan tinggi,
karena sistem yang ada tidak memberikan jalan
sedikit pun kepada mereka Padahal kalau
mereka difasilitasi, sangat mungkin kepandaian mereka akan meningkat tajam. Sebab, kebodohan mereka lebih disebabkan ketiadaan fasilitas yang mendukungnya.
Sayang, meskipun rasional, pemikiran di
atas sulit diterima oleh
pengambil kebijakan. Dirjen Pendidikan Dasar dan mengah, Indra Jati Sidi, misalnya, langsung menolak gagasan penulis itu. Menurutnya, kebijakan itu dapat
berakibat pada merosotnyd mutu
pendidikan nasional. Ia mencontohkan, SMA I Jakarta tempat ia bersekolah. Dulu pada zamannya, 70% lulusan dari SMA I Jakarta bisa diterima di ITB dan UI,
tapi setelah diterapkan sistem rayon
persentase yang diterima di ITB dan UI menurun dratis.
Argumen Pak Dirjen itu betul. Tapi ia lupa
bahwa menurunnya mutu di
SMA tersebut berarti meningkatnya mutu di tempat lain, sehingga persentase lulusan SMA lain yang diterima di ITB dan UI pun meningkat. Atau bahkan semula
tidak ada sama sekali yang diterima
di ITB dan UI, sekarang menjadi ada. Terbukti
UI dan ITB tidak pernah kekurangan calon mahasiswa yang memenuhi syarat untuk dapat diterima. Dengan
kata lain, di sini terjadi pemerataan
mutu pendidikan nasional.
Bagi penulis, kebijakan affirmative action ini selain lebih efektif, karena bersifat massif di seluruh negeri, juga mengembalikan peran negara
pada tugas pencerdasan bangsa. Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak
melaksanakan mandat yang diberikan
kepadanya. Sekolah-sekolah negeri itu memang didirikan untuk melayani semua warga, baik yang kaya, miskin,
pintar, dan bodoh. Bukan hanya yang kaya dan pintar saja. Sulit sekali bagi kaum miskin dan bodoh untuk memperoleh
layanan pendidikan bila negara
sendiri tidak menciptakan kebijakan yang kondusif.
Justru, tugas negara yang utama adalah mencerdaskan mereka yang bodoh
dan miskin itu. Orang yang miskin dan bodoh adalah
bagian dari warga negara yang sah dan wajib diberikan hak-hak social dasarnya oleh negara. Negara melakukan
pelanggaran HAM bila tidak memenuhi
hak-hak dasar mereka. Lagi pula, bila negara menolak tugas tersebut,
maka untuk apa harus ada negara dan harus
ada Departemen Pendidikan?
3. Menggugat UU Sisdiknas
Apakah keberadaan Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) otomatis menjawab permasalahan yang dikemukakan di atas?
Guna menjawab permasalahan tersebut, marilah kita lihat UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional,
terutama pasal-pasal yang mengatur mengenai soal hak dan kewajiban bagi warga negara
maupun bagi negara, seperti yang
terdapat pada Bab 4 Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat, dan Pemerintah, yang terdiri dari tujuh
pasal, yaitu Pasal 5-11, antara lain:
Bagian
Kesatu:
Hak
dan Kewajiban Warga Negara
Pasal 5
1. Setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang berinutu.
2. Warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/ atau sosial berhak memperoleh
pendidikan layanan khusus.
3. Warga negara di daerah terpencil atau
terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan
layanan khusus.
4. Warga negara yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
5. Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan
meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Pasal
6
1. Setiap warga negara yang berusia
tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
2. Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.
Bagian
Kedua:
Hak
dan Kewajiban Orang Tua
Pasal 7
1. Orang tua berhak berperan serta
dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan
pendidikan anaknya.
2. Orang tua dari anak usia wajib
belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 8
Masyarakat
berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program
pendidikan.
Pasal
9
Masyarakat berkewajiban
memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan
Bagian
Keempat:
Hak
dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah
Pasal
10
Pemerintah dan Pemerintah Daerah
berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
11
1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan
yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
2.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun
Berdasarkan bunyi pasal-pasal di
atas, jelas bahwa pemberian hak kepada masyarakat itu langsung disertai
dengan pemberian
kewajiban. Sebaliknya, kewajiban bagi negara langsung didahului dengan pengakuan
hak-haknya.
Ketidakjelasan dalam pengaturan
mengenai hak dan kewajiban bagi warga negara maupun bagi negara inilah yang
sejak awal perumusan RUU Sisdiknas
sudah digugat oleh penulis. Sayang, wacana yang berkembang dalam soal RUU Sisdiknas hanya soal pendidikan agama yang
dalam praktiknya justru tidak menimbulkan masalah yang krusial. Sebaliknya, upaya penghapusan hak-hak bagi warga
dan penghapusan kewajiban negara yang dalam implementasinya amat bermasalah, justru dalam perdebatan RUU Sisdiknas
coba ditutupi. Inilah sebetulnya kehebatan negara yang mampu membelokkan isu dasar
RUU Sisdiknas ke isu yang provokatif, sehingga tujuan negara
untuk melepaskan tanggung jawab atas
pendidikan warganya itu dapat berlangsung
mulus karena masyarakat sudah terfragmentasi ke dalam kelompok-kelompok primordialisme dan sektarianisme yang sengaja dihembuskan untuk mengalihkan isu.