Minggu, 10 Juni 2012

DI MANA ANAK-ANAK MISKIN DAN BODOH BERSEKOLAH?


Pertanyaan di atas selalu muncul dalam benak penulis setiap kali terjadi proses penerimaan murid baru, terutama di sekolah-sekolah negeri, baik ketika masih memakai DANEM (Daftar Nilai Ebtanas Murni) maupun setelah kembali memakai model tes. Pasalnya, dua model penerimaan murid baru itu hanya mengakomodasi tiga kelompok saja, yaitu kelompok anak kaya dan pintar, anak pintar tapi miskin, dan anak bodoh tapi kaya. Kelompok keempat, anak yang miskin sekaligus bodoh, tidak pernah diakomodasi ke dalam kedua sistem  yang ada, sehingga mereka semakin termarjinalisasi. Bukan hanya dalam memper­oleh akses pendidikan, tapi juga dalam proses sosialisasi dan mobilitas vertikal.
Peluang terbesar untuk memperoleh akses pendidikan yang baik dimiliki oleh anak kaya dan pintar, karena memiliki nilai yang bagus sehingga bebas memilih sekolah yang diinginkan. Bahkan ketika sistem penerimaan murid baru dengan meng­gunakan model tes seperti sekarang, yang memungkinkan ada negosiasi soal biaya yang harus dibayar, mereka tetap memiliki peluang terbesar karena selain memiliki kemampuan untuk mengerjakan soal, juga memiliki kemampuan untuk membayar pungutan yang ditarik oleh pihak sekolah.
Peluang terbesar kedua dimiliki oleh anak-anak miskin tapi pintar. Pada waktu penerimaan berdasarkan DANEM, mereka dengan mudah dapat masuk ke sekolah-sekolah negeri karena NEM mereka cukup tinggi. Di sekolah-sekolah swasta favorit, peluangnya terbatas karena sekolah tersebut menggunakan sistem seleksi ganda, yaitu DANEM dan tes wawancara. Mereka sering gugur pada waktu tes wawancara, karena tes wawancara itu hanya merupakan bentuk kamuflase dari mekanisme menarik biaya yang lebih besar.
Perubahan sistem penerimaan murid baru dari DANEM ke model tes seperti sekarang, sedikit menutup peluang kelom­pok kedua ini di sekolah-sekolah negeri, terlebih sekolah swasta favorit, karena kemampuan membayar uang gedung murid sering lebih menentukan diterima tidaknya seseorang sebagai murid baru daripada hasil tes murni yang dicapai oleh calon murid.
Peluang terluas ketiga untuk memperoleh akses pendidikan yang baik dimiliki oleh anak-anak yang bodoh, tapi orang tuanya kaya. Pada sistem penerimaan murid baru dengan model DANEM, peluang mereka untuk masuk ke sekolah-sekolah nege­ri memang terbatas karena sekolah-sekolah negeri pada umum­nya hanya menggunakan sistem DANEM saja. Tapi untuk masuk ke sekolah-sekolah swasta, termasuk yang favorit, cukup tinggi karena tertolong oleh tes wawancara, yang di sana ada proses tawar menawar soal kesanggupan biaya yang harus dibayarkan.
Permainan itu juga dapat dilakukan dengan pihak sekolah asal atau sekolah sebelumnya sehingga DANEM si anak menjadi tinggi. Sebagai contoh, orang tua murid kongkalikong dengan guru Kelas VI SD atau Kelas III SMP agar anakny a memperoleh DANEM tinggi, sehingga dapat masuk ke sekolah negeri favorit. Per­mainan semacam itu terjadi di banyak tempat di seluruh Indonesia. Motivasinya juga bukan sekadar uang, tapi juga prestise. Sebab, bila alumni dari sekolah itu banyak yang diterima di .sekolah­sekolah negeri, hal itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi para guru sehingga mereka senang mengatrol NEM murid, terlebih dibayar. Dengan kembali menggunakan model tes, posisi kelompok ini makin aman karena sistem tes itu memungkinkan terjadinya proses tawar menawar soal kemampuan mem­bayarnya, sehingga ketidakmampuan mengerjakan soal-soal tes dapat ditutup dengan kemampuan membayarnya.
1. Sekolah Pinggiran
Peluang yang paling sempit, atau bahkan dapat dikatakan tertutup, adalah bagi anak-anak miskin sekaligus bodoh. Satu­satunya peluang yang terbuka bagi mereka adalah di sekolah­sekolah swasta tidak bermutu yang secara fisik lokasinya berada di pinggiran kota atau daerah terpencil. Kalau di tengah per­kotaan, sekolah itu berada di tengah daerah pemukiman yang padat, kumuh, dan semrawut sehingga tidak kondusif untuk proses belajar mengajar. Hal itu disebabkan mereka tidak memi­liki modal apa pun yang diperlukan sebagai syarat untuk masuk ke sekolah, baik ketika memakai sistem DANEM maupun model tes. Bahkan ketika sistem Ujian Akhir Nasional itu diterapkan, kelompok inilah yang paling banyak menjadi korban ketidak­lulusannya.
Ketika sistem DANEM masih digunakan, karena NEM mereka amat rendah, mereka tidak bisa masuk ke sekolah negeri yang hanya menggunakan sistem seleksi tunggal. Sedangkan kalau mau masuk ke sekolah-sekolah swasta favorit, selain NEM mereka jelek, mereka juga tidak memiliki kemampuan membayar yang tinggi. Jadi satu-satunya pilihan yang tersedia bagi mereka adalah sekolah-sekolah pinggiran yang model rekrutmen murid­nya memang hanya mengandalkan sisa-sisa (Jawa: koretan) calon murid, baik yang tidak diterima di sekolah negeri, swasta favo­rit, maupun swasta menengah.
Nasib buruk yang sama dirasakan pula ketika mekanisme rekrutmen murid baru di sekolah-sekolah negeri maupun swasta menggunakan model tes dan wawancara. Kelompok ini, karena modal dasarnya memang sangat lemah, tidak memiliki ke­mampuan untuk mengerjakan soal dengan baik, juga tidak memiliki daya tawar berdasarkan kemampuan membayar biaya sekolah yang tinggi, sehingga tidak tersedia ruang bagi mereka, baik di sekolah-sekolah negeri maupun swasta yang bagus. Dalam kondisi yang serba terpaksa itu, tak ada pilihan lain bap mereka kecuali hanya di sekolah-sekolah swasta kecil, yang lokasinya di pinggiran kota atau pelosok pedesaan, yang pra­sarana dan sarananya minim, mutunya jelek, disiplinnya ren­dah, dan biayanya relatif tinggi menurut ukuran mereka kareno ditanggung penuh oleh murid. Pemerintah justru cenderung menghindari memberikan bantuan kepada sekolah-sekolah semacam itu. Kalaupun ada, jumlahnya kecil dibanding sekolah-sekolah yang lebih besar atau mapan. Pemerintah lebih suka membantu sekolah-sekolah yang sudah mapan daripada mem­bantu sekolah-sekolah yang miskin dan di pinggiran tersebut, karena dapat diklaim sebagai hasil kinerja mereka.
Sebetulnya, mereka menjadi miskin dan bodoh bukan semata-mata kesalahan mereka sendiri, tapi karena struktur sosial yang sejak awal tidak adil, sehingga tidak memberikan ruang kepada kelompok miskin ini untuk melakukan mobilitas horizontal maupun vertikal. Kelompok miskin dan bodoh itu akhirnya terjebak pada lingkaran kemiskinannya. Celakanya, pendidikan yang seharusnya membuat manusia lebih berkemanusiaan dan berkeadilan, justru semakin melegitimasi dan bahkan menyuburkan ketidakadilan tersebut, terutama melalui pilihan-pilihan mencari pasangan hidup. Sebagai contoh, -seseorang yang berpendidikan S2 cenderung mencari pasangan hidup yang berpendidikan setara, atau paling tidak S1. Seseorang yang berijasah S1 cenderung mencari pasangan hidup mini­mal Diploma, syukur bisa di atasnya. Lulusan SMA mencari pasangan hidup sesama lulusan SMA atau minimal SMP. Sedangkan bagi lulusan SMP ke bawah (termasuk yang tidak bersekolah), tidak tersedia pilihan lain kecuali sesama yang berpendidikan SMP atau SD atau bahkan buta huruf.
Bila tinggi rendahnya pendidikan itu memiliki korelasi positif dengan jenis pekerjaan, gaji, dan fasilitas lain yang diperoleh, maka dengan sendirinya pasangan sesama S2-S3 akan berpenghasilan sangat tinggi (ada yang mencapai ratusan juta rupiah per bulan). Pasangan antar sesama S1 juga memiliki jenis pekerjaan yang relatif baik, dengan tingkat gaji dan fasilitas lain yang bagus. Begitu seterusnya: semakin rendah tingkat pendidik­annya, semakin rendah pula gaji yang diterima serta fasilitas yang tersedia. Giliran pada pasangan yang buta huruf, jangankan pendapatan dan fasilitas, pekerjaan pun belum tentu mereka dapatkan, sehingga mereka kernudian menjadi pengemis, penga­men, pemulung, atau bahkan gelandangan.
Tapi, ini yang terjadi, baik pasangan sesama S2-S3 maupun sesama buta huruf sama-sama ingin memiliki keturunan. Sama­sama melalui proses biologis dan sama-sama dilahirkan oleh manusia, tapi sudah pasti produknya akan sangat jauh berbeda. Anak-anak dari golongan yang berpendidikan, jauh sebelum di- proses, sudah dipersiapkan secara matang, dari soal pilihan jenis makanan yang bergizi, bahan bacaan yang perlu dikonsumsi, musik yang perlu didengar, dan sebagainya yang semuanya bertujuan agar anak yang dikandungnya nanti lahir menjadi anak yang cerdas dan berbudi luhur. Sedangkan anak-anak dari pasangan yang tidak berpendidikan tersebut, sudah lahir pun tidak dipelihara dengan baik. Jangankan tumbuh menjadi anak pintar, bisa hidup sehat pun itu sudah rahmat yang tidak ter­hingga. Dengan kata lain, pernikahan dari pasangan yang ter­marjinalisasi itu sebetulnya hanya merupakan proses reproduksi kemiskinan dan kebodohan. Dan celakanya, pendidikan yang ada semakin menyuburkan proses reproduksi kemiskinan dan kebodohan tersebut.
2. Pendidikan: Sumber Masalah
Bagi anak-anak miskin dan bodoh itu, sekolah bukan sarana mobilitas horizontal maupun vertikal yang baik, tapi akumulasi kekecewaan sekaligus arena membangun kesadaran kolektif atas ketidakadilan sosial di masyarakat. Sebab, di sekolah mereka berinteraksi dengana sesama pelajar yang memiliki nasib sama buruknya. Anak-anak yang memiliki nasib lebih baik sudah di­kumpulkan tersendiri di sekolah-sekolah swasta dengan status "Diakui". Sedangkan anak-anak yang memiliki nasib terbaik dikumpulkan tersendiri di sekolah-sekolah negeri favorit mau­pun sekolah-sekolah swasta dengan status "Disamakan".
Berbeda, misalnya, jika anak-anak miskin dan bodoh itu dapat bersekolah di sekolah-sekolah negeri yang biayanya di­tanggung oleh negara. Selain dari segi biaya mereka juga lebih ringan, dari pola pergaulannya pun menjadi beragam: mereka tidak hanya berinteraksi dengan sesama anak miskin dan bodoh, tapi juga dengan anak yang mungkin kaya sekaligus pintar, anak yang pintar tapi mungkin miskin, atau juga anak yang bodoh tapi kaya.
Adanya interaksi yang intens antara anak-anak miskin bodoh dengan sesama anak-anak dari ketiga lapisan sosial tersebut dapat membuka wawasan mereka lebih berkembang,
relasi sosial lebih luas, dan sangat mungkin pula kelak mereka dapat membangun kerja sama yang saling menguntungkan.Sehingga, yang miskin dan bodoh dapat mengalami mobilisasi vertikal, sedangkan yang kaya dan pinter bisa lebih peka dan toleran terhadap yang miskin dan bodoh.
Text Box: 342Tapi dengan mengkotakkan anak-anak miskin dan bodoh ke dalam satu kotak tersendiri, yaitu masuk ke sekolah-sekolah pinggiran yang tidak bermutu, disiplin rendah, dan biayanya realtif tinggi (karena mereka tanggung sendiri), maka sistt'iu pendidikan yang ada sebetulnya hanya semakin melanggengkan, ketidakadilan sosial yang ada di masyarakat sekaligus merusa solidaritas sosial, karena anak-anak muda sudah dikelompokkan sesuai dengan kelas sosialnya, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk membangun relasi sosial yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Sekolah justru mengelompokkan anak pintar dan kaya dalam satu kelompok, anak yang bodoh dan miskin dalam satu kelompok tersendiri. Ini jelas tidak sehat, baik bagi perkembangan jiwa anak maupun untuk kepentingan solidaritas sosial. Sebab, rasa cemburu dari golongan miskin dan bodoh terhadap yang kaya dan atau pintar itu tidak dieliminasi, tapi justru dipupuk dan dikembangkan secara sistematik.
Sistem pendidikan seperti itu cenderung akan menum­buhkan kekecewaan mendalam pada golongan miskin dan bodoh. Ekspresi kekecewaan bagi golongan miskin dan bodoh terhadap ketidakadilan sosial yang ada di masyarakat itu, mereka wujudkan dalam bentuk tawuran antarpelajar. Bila di­telisik lebih jauh, dapat diketahui bahwa pelajar yang terlibat dalam tawuran sesama pelajar itu mayoritas berasal dari sekolah­sekolah swasta kecil atau di pinggiran kota, yang asal usul murid­nya dari golongan miskin dan bodoh. Menurut penuturan bebera­pa guru dari murid yang terlibat tawuran, pada saat masuk ke sekolah (umumnya sekolah kejuruan), NEM si anak itu amat rendah, sehingga mereka memang tidak dapat diterima di seko­lah negeri. Juga tidak bisa diterima di SMA swasta bermutu. Satu-satunya sekolah yang dapat menampung mereka adalah sekolah kejuruan swasta.
Dilihat dari latar belakangnya, pelajar yang sering terlibat tawuran umumnya tinggal di perkampungan padat (sebagian di rumah petak dari papan) yang sumpek, berisik, semrawut. Di sekolah, mereka berinteraksi secara intens dengan anak-anak lain yang sama-sama mengalami kekecewaan dalam segala hal. Sekolah yang semula diharapkan dapat menjadi ruang publik bagi mereka untuk mengekspresikan kemampuannya, ternyata cenderung represif akibat dari keterbatasan prasarana dan sarana yang bersangkutan. Di jalanan, mereka harus berjuang susah payah untuk memperoleh angkutan umum yang mau mengangkut mereka dengan ongkos tarif pelajar. Sebab, tarif khusus bagi pelajar ternyata tidak menolong mereka; sebaliknya justru menciptakan beban baru bagi mereka.
Akumulasi kekecewaan demi kekecewaan itu kemudian memupuk naluri agresivitas mereka, yang kemudian dengan mudah dapat dipancing untuk tawuran. Begitu terkena gesekan sedikit, mereka langsung tawuran. Dan gesekan yang memicu timbulnya tawuran itu, biayanya terjadi saat para pelajar menung­gu bus kota di halte yang begitu lama. Dalam suasana otak yang bunek dan jiwa yang frustasi mênunggu angkutan umum yang mau mengangkut, mereka mudah sekali dipancing untuk tawur­an. Dengan kata lain, tawuran pelajar itu tidak memiliki kaitan logis dengan tingkat pemahaman agama mereka, melainkan dengan masalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang mere­ka rasakan, baik di rumah maupun di sekolah.
Kondisi serupa terjadi pada PTN kita. PTN hanya meng­akomodasi anak-anak pintar sekaligus kaya serta anak bodoh tapi kaya. Anak-anak pintar tapi miskin, peluangnya sqkarang semakin terbatas. Apalagi anak-anak bodoh dan miskin, tidak ada ruang sama sekali di pendidikan tinggi di Indonesia, apalagi PTN. Perubahan status PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) semakin menutup peluang anak-anak miskin dan bo­doh untuk memperoleh akses pendidikan tinggi karena mereka dianggap tidak pantas masuk PT. Padahal, bagaimana mungkin yang miskin dan bodoh ini dapat mengubah nasibnya sehingga keturunannya bisa kaya dan pintar, bila negara tidak pernah menyediakan kesempatan sedikit pun kepada mereka?
Uraian di atas jelas, bahwa pendidikan nasional, negeri mau­pun swasta, dari SD-PT, hanya menciptakan kesenjangan sosial sekaligus kemiskinan struktural. Sebab, anak-anak bodoh dan miskin itu setelah lepas dari sekolah hanya bekerja sebagai buruh pabrik, buruh bangunan, buruh tani, buruh serabutan, atau pekerja sektor informal, yang pendapatannya selain kecil, juga tidak stabil dan rawan PHK atau kena gusur. Mereka pun meni­kah dengan pasangan yang berasal dari kelas sosial sama rendah, sehingga hanya mereproduksi kemiskinan dan kebodohan saja. Sedangkan anak-anak ketiga golongan tadi bekerja di sektor­sektor white color dengan gaji tinggi dan fasilitas lengkap, sehingga anak-anak mereka kelak tumbuh dalam suasana yang kondusif untuk pintar, maju, dan kaya, melebihi orang tuanya.
Kebijakan pendidikan nasional yang tidak adil itu jelas perlu diubah agar lebih adil dan manusiawi. Negara tidak boleh hanya memfasilitasi kelompok-kelompok mampu saja, tapi semua kelompok kelompok masyarakat wajib difasilitasi: Konsekuensi dari sikap politis yang semacam itu adalah, semua kebijakan yang tidak mendukung terciptanya sistem yang adil itu harus digugat dan diubah agar menjadi lebih berkeadilan. Negara wajib menerapkan kebijakan affirmative action guna menampung anak-anak yang miskin dan bodoh tersebut. Caranya, negara memberikan alokasi ruang yang cukup bagi kaum miskin dan bodoh untuk bisa bersekolah di sekolah-sekolah negeri. Jangan sampai sekolah-sekolah negeri yang dibiayai oleh negara justru dihuni hanya oleh anak-anak orang kaya saja. Sebaliknya, yang miskin justru harus bersekolah di sekolah-sekolah swasta kecil yang biayanya mereka pikul sendiri.
Bila sistem penerimaan murid baru yang ada selama ini tidak memungkinkan anak-anak miskin dan bodoh bersekolah di sekolah-sekolah negeri, maka secara otomatis sistem peneri­maan murid baru itu wajib diubah. Bukan hanya menggunakan sistem tunggal dalam bentuk tes ujian masuk, tapi juga menda­sarkan pada kemampuan sosial ekonomi talon murid. Bila kita mengacu pada tugas negara untuk mencerdaskan bangsa, maka hukumnya wajib bagi pemerintah untuk menerima semua anak yang bodoh dan miskin itu bersekolah di sekolah negeri. Sebab, kalau institusi negara dan juga pegawai negara saja tidak mau memandaikan mereka, lalu siapa yang wajib memandaikan mereka? Sangat tidak adil bila beban untuk mencerdaskan mereka yang miskin dan bodoh itu justru ditumpukan kepada para penyelenggara pendidikan swasta yang miskin dan tikla mendapatkan bantuan dari negara.
Negara juga wajib mendorong masyarakat agar mereka yang secara ekonomis mampu lebih baik memilih sekolah d swasta, sehingga semakin banyak ruang yang tersedia di sekolah-sekolah negeri bagi golongan miskin dan bodoh. Bahkan kalau kita mau berpikir ideal, sekolah-sekolah negeri itu memang untuk publik (publik tidak dibatasi oleh stratifikasi sosial), sedangkan mereka yang ingin berkompetisi secara ketat dipersilakan bersekolah di sekolah-sekolah swasta yang bagus. Bagi penulis, jauh lebih baik bila sekolah-sekolah swasta kecil tidak bermutu itu ditutup, dan anak-anak miskin-bodoh ditampung di sekolah-sekolah negeri semua, sedangkan swasta yang boleh hidup hanya sekolah-sekolah swasta yang berrnutu saja. Daripada membiarkan anak-anak yang miskin dan bodoh tetap bersekolah di sekolah-sekolah swasta yang tidak bermutu, disiplin rendah, dan biayanya relatif tinggi. Ini sangat tidak adil
Ironis juga, bila negara yang diberi mandat untuk mencer­daskan warganya justru lebih memfasilitasi orang-orang yang sudah pintar dan kaya. Juga guru-guru yang dibayar oleh negara justru mendidik anak-anak yang sudah pintar, sedangkan guru-guru swasta kecil yang bayarannya dengan ucapan “terima kasih" malah diberi tugas untuk memintarkan orang-orang miskin dan bodoh.
Affirmative action itu tidak hanya untuk tingkat SMP-SMA saja, tapi juga pendidikan tinggi negeri. Sebab, tanpa kebijakan affirmative action, sulit dibayangkan anak-anak yang miskin dan bodoh itu akan mengenyam pendidikan tinggi, karena sistem yang ada tidak memberikan jalan sedikit pun kepada mereka Padahal kalau mereka difasilitasi, sangat mungkin kepandaian mereka akan meningkat tajam. Sebab, kebodohan mereka lebih disebabkan ketiadaan fasilitas yang mendukungnya.
Sayang, meskipun rasional, pemikiran di atas sulit diterima oleh pengambil kebijakan. Dirjen Pendidikan Dasar dan mengah, Indra Jati Sidi, misalnya, langsung menolak gagasan penulis itu. Menurutnya, kebijakan itu dapat berakibat pada merosotnyd mutu pendidikan nasional. Ia mencontohkan, SMA I Jakarta tempat ia bersekolah. Dulu pada zamannya, 70% lulusan dari SMA I Jakarta bisa diterima di ITB dan UI, tapi setelah diterapkan sistem rayon persentase yang diterima di ITB dan UI menurun dratis.
Argumen Pak Dirjen itu betul. Tapi ia lupa bahwa menu­runnya mutu di SMA tersebut berarti meningkatnya mutu di tempat lain, sehingga persentase lulusan SMA lain yang diterima di ITB dan UI pun meningkat. Atau bahkan semula tidak ada sama sekali yang diterima di ITB dan UI, sekarang menjadi ada. Terbukti UI dan ITB tidak pernah kekurangan calon mahasiswa yang memenuhi syarat untuk dapat diterima. Dengan kata lain, di sini terjadi pemerataan mutu pendidikan nasional.
Bagi penulis, kebijakan affirmative action ini selain lebih efek­tif, karena bersifat massif di seluruh negeri, juga mengembalikan peran negara pada tugas pencerdasan bangsa. Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak melaksanakan mandat yang diberi­kan kepadanya. Sekolah-sekolah negeri itu memang didirikan untuk melayani semua warga, baik yang kaya, miskin, pintar, dan bodoh. Bukan hanya yang kaya dan pintar saja. Sulit sekali bagi kaum miskin dan bodoh untuk memperoleh layanan pendi­dikan bila negara sendiri tidak menciptakan kebijakan yang kondusif.
Justru, tugas negara yang utama adalah mencerdaskan mere­ka yang bodoh dan miskin itu. Orang yang miskin dan bodoh adalah bagian dari warga negara yang sah dan wajib diberikan hak-hak social dasarnya oleh negara. Negara melakukan pelang­garan HAM bila tidak memenuhi hak-hak dasar mereka. Lagi pula, bila negara menolak tugas tersebut, maka untuk apa harus ada negara dan harus ada Departemen Pendidikan?
3. Menggugat UU Sisdiknas
Apakah keberadaan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) otomatis menjawab perma­salahan yang dikemukakan di atas? Guna menjawab permasa­lahan tersebut, marilah kita lihat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama pasal-pasal yang meng­atur mengenai soal hak dan kewajiban bagi warga negara mau­pun bagi negara, seperti yang terdapat pada Bab 4 Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat, dan Peme­rintah, yang terdiri dari tujuh pasal, yaitu Pasal 5-11, antara lain:
Bagian Kesatu:
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Pasal 5
1.    Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang berinutu.
2.    Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, men­tal, intelektual, dan/ atau sosial berhak memperoleh pendi­dikan layanan khusus.
3.    Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendi­dikan layanan khusus.
4.    Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
5.    Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Pasal 6
1.    Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
2.    Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlang­sungan penyelenggaraan pendidikan.

Bagian Kedua:
Hak dan Kewajiban Orang Tua
Pasal 7
1.    Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.
2.    Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban mem­berikan pendidikan dasar kepada anaknya.

Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 8
Masyarakat berperan serta dalam perencanaan, pelaksana­an, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.
Pasal 9
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan
Bagian Keempat:
Hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah
Pasal 10
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
1.    Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layan­an dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskri­minasi.
2.    Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin terse­dianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun
Berdasarkan bunyi pasal-pasal di atas, jelas bahwa pem­berian hak kepada masyarakat itu langsung disertai dengan pem­berian kewajiban. Sebaliknya, kewajiban bagi negara langsung didahului dengan pengakuan hak-haknya.
Ketidakjelasan dalam pengaturan mengenai hak dan kewa­jiban bagi warga negara maupun bagi negara inilah yang sejak awal perumusan RUU Sisdiknas sudah digugat oleh penulis. Sayang, wacana yang berkembang dalam soal RUU Sisdiknas hanya soal pendidikan agama yang dalam praktiknya justru tidak menimbulkan masalah yang krusial. Sebaliknya, upaya penghapusan hak-hak bagi warga dan penghapusan kewajiban negara yang dalam implementasinya amat bermasalah, justru dalam perdebatan RUU Sisdiknas coba ditutupi. Inilah sebetul­nya kehebatan negara yang mampu membelokkan isu dasar RUU Sisdiknas ke isu yang provokatif, sehingga tujuan negara untuk melepaskan tanggung jawab atas pendidikan warganya itu dapat berlangsung mulus karena masyarakat sudah terfragmentasi ke dalam kelompok-kelompok primordialisme dan sektarianisme yang sengaja dihembuskan untuk mengalihkan isu.

1 komentar:

  1. malas kalau berkawannya nanti sama anak yang miskin dan tawuran. Mending yang sekarang jadi anak anak yang baik tidak terkontaminasi

    BalasHapus